Membangun Rumah bagi Allah

Dipublikasikan tanggal 20 September 2013

Membangun Rumah bagi Allah

Gedung Pastoran/Pastoral St. Lukas

Pelantikan Tim Pembangunan Gedung Pastoran & Pastoral

Pada hari Minggu tanggal 15 September 2013 telah dilakukan upacara pelantikan Tim Pembangunan Gedung Pastoran/Pastoral Gereja St. Lukas. Kepada mereka yang terpilih, kami mengucapkan proficiat dan selamat berkarya. Tentu saja bukan perkara mudah membangun gedung pastoran/pastoral baru, namun memang dirasakan sudah saatnya beberapa infrastruktur Gereja diperbaiki, supaya pelayanan menjadi lebih baik lagi. Sebuah doa dari Raja Daud untuk puteranya Salomo tentu tepat kiranya diucapkan untuk mereka, “ Hai anakku, Tuhan kiranya menyertai engkau, sehingga engkau berhasil mendirikan rumah Tuhan, Allahmu …” (I Taw 22:11)

Pemberkatan Tim Pembangunan Gedung Pastoran & Pastoral

Pada kesempatan ini kita hendak belajar sedikit dari tokoh-tokoh Kitab Suci, ketika mereka mulai hendak membangun rumah Allah. Pada tahun 586 SM, pasukan Babel berhasil menghancurkan Bait Allah di Yerusalem, yang menjadi lambang kehadiran Allah di tengah-tengah umat-Nya. Pada tahun 538 SM Raja Koresh memaklumatkan bahwa orang-orang Yahudi boleh kembali ke negeri mereka dan membangun kembali Bait Allah (Ezra 1:2-4; 6:3). Di bawah pimpinan Zerubabel (Ezra 2), hampir 50.000 orang yang dibuang ke Babel kembali ke Yerusalem. Ketika rombongan mendekati kota Yerusalem, mereka sangat bersedih. Tembok-tembok kota Yerusalem hancur berantakan. Apalagi, Bait Allah yang dibangun oleh Raja Salomo, zamrud Yerusalem, hanya menyisakan puing-puing.

Selama dua tahun berikutnya, orang-orang yang kembali dari pembuangan membangun kembali Bait Allah, dan pada tahun 536 SM mereka berhasil membangun mezbah dan memulai pekerjaan pondasi (Ezra 3:3-11).  Namun kemudian mereka mendapat perlawanan dari orang-orang Samaria, sehingga mereka menjadi patah semangat, dan menghentikan pembangunan selama enam belas tahun (Ezra 4:1-5, 24). Pada saat itu Allah berbicara dengan perantaraan Nabi Hagai, yang memulai pelayanannya di Yerusalem pada tahun kedua pemerintahan Raja Darius dari Persia (520 SM). Barulah pekerjaan pembangunan kembali Bait Allah dilanjutkan.

Apa pesan dari nubuat Hagai? Fokus utama dari nubuat Hagai sangat jelas: Inilah saatnya membangun kembali Bait Allah. Teguran pertama Allah kepada bangsa Israel tercatat dalam Hag 1:2, “Bangsa ini mengatakan  bahwa belum waktunya untuk membangun kembali rumah-Ku.” Memang betul, mezbah dan pondasi berhasil dibangun, namun kemudian mereka menghentikan pekerjaan selama 16 tahun. Bangsa Israel tidak memperhatikan proyek yang terbengkalai itu. Rupanya, mereka memiliki agenda yang lebih penting.

Apakah kiranya yang jauh lebih penting daripada membangun kembali Bait Allah? Ternyata bangsa Israel merasa bahwa mendandani rumah mereka masing-masing jauh lebih berharga daripada membangun kembali Bait Allah. Hag 1:4 mencatat, “Hai umat-Ku, apakah sudah waktunya bagimu untuk tinggal dalam rumah yang kuat dan kokoh, sedangkan rumah-Ku masih berupa puing-puing?”

Kitab Hagai teristimewa relevan pada zaman ini, karena kita lebih mementingkan banyak hal duniawi seperti karir, sekolah, rekreasi, sehingga melupakan bahwa kita juga memiliki tanggung jawab untuk membangun rumah bagi Allah. Hagai melanjutkan pesan Tuhan dengan meminta bangsa Yahudi untuk merenung (Hag 1:5-7), “Coba, perhatikan keadaanmu. Kamu telah menabur banyak benih, namun panenmu sedikit. Kamu ada makanan, tetapi tidak cukup untuk mengenyangkan perutmu. Kamu mempunyai anggur, tetapi tidak cukup untuk memuaskan hatimu. Kamu mempunyai pakaian, tetapi tidak cukup untuk menghangatkan dirimu. Dan upah yang diterima kaum buruh tidak cukup untuk menyambung hidup mereka. Tidak sadarkah kamu, mengapa hal itu terjadi?”

Tulisan Hagai mengingatkan bangsa Yahudi bahwa mereka akan kehilangan berkat jasmani maupun rohani, apabila mereka mengabaikan pembangunan kembali Bait Allah. Oleh sebab itu Hag 1:8-11 mencatat, “Sekarang , naiklah ke bukit-bukit untuk mengambil kayu, lalu bangunlah rumah-Ku; maka Aku akan merasa senang … Kamu mengharapkan hasil panen yang berlimpah-limpah, tahu-tahu yang kamu dapat hanya sedikit sekali; kamu membawanya pulang, tetapi hasil panenmu Kuhembus, sehingga habis dibawa angin. Mengapa Kulakukan itu? Karena rumah-Ku masih berupa puing-puing, sedangkan kamu semua giat membangun rumahmu masing-masing. Itulah sebabnya hujan tidak kunjung turun, sehingga tak ada tanaman yang bisa tumbuh. Aku telah mendatangkan kekeringan  …”

Tim Pembangunan Gedung Pastoran & Pastoral

Tuhan akan senang kalau umat-Nya memperhatikan rumah-Nya. Hag 1:13 mencatat, “Aku menyertai kamu” Janji Allah ini dapat dipahami dalam dua cara. Pertama, Allah berjanji akan melindungi mereka yang terlibat dalam pembangunan kembali Bait Allah. Kedua, Allah berjanji akan memberikan umat-Nya berkat yang melimpah, apabila mereka memperhatikan rumah-Nya, seperti tercatat dalam Hag 2:18-19, “ … mulai saat ini Aku akan memberkati kamu”. Orang-orang pada zaman Hagai nampaknya menerima berkat setelah mereka berpartisipasi dalam pembangunan kembali Bait Allah. Jelas bahwa mereka mulai menghargai nilai pembangunan kembali Bait Allah, dan dengan seruan Hagai, “demikianlah Tuhan menggerakkan hati Gubernur Zerubabel, Imam Agung Yosua serta semua orang yang telah kembali dari pembunangan, supaya mereka semua bekerja membangun rumah Tuhan.” (Hag 1:14)

Umat Allah di sepanjang zaman harus merenungkan pesan nubuat Hagai. Pembangunan rumah bagi Allah sama pentingnya di zaman Hagai dan di zaman sekarang. Allah berjanji akan melimpahkan banyak berkat bagi mereka yang mau terlibat dalam pembangunan rumah-Nya. Jangan hanya rumah kita masing-masing yang kita perhatikan, tetapi juga rumah Allah.

Pembangunan gedung pastoran/pastoral baru meski kita sikapi dengan semangat nabi Hagai. Meskipun tim pembangunan sudah dibentuk dan dilantik, kita harus memahami bahwa tugas besar dan berat ini bukan hanya tanggung jawab mereka. Ini merupakan pekerjaan kita semua bersama-sama. Segala sumbangan baik material maupun moral tentu saja sangat disukai oleh Allah. Mungkin sapaan St. Paulus kepada jemaat di Makedonia layak kita renungkan bersama, “Selagi dicoba dengan berat dalam pelbagai penderitaan, sukacita mereka meluap dan meskipun mereka sangat miskin, namun mereka kaya dalam kemurahan … Sebab pelayanan kasih yang berisi pemberian ini bukan hanya mencukupkan keperluan-keperluan orang-orang kudus, tetapi juga melimpahkan ucapan syukur kepada Allah.” (II Kor 8:2; 9:12)