KEKERASAN SEKSUAL DAN EKSPLOITASI ANAK DALAM GEREJA KATOLIK

Dipublikasikan tanggal 19 November 2025

Sejarah Kekerasan Seksual dalam Gereja Katolik di Seluruh Dunia

Hukum Gereja Katolik memberlakukan kerahasiaan dalam praktisinya, sehingga dengan tidak adanya transparansi, tindakan kekerasan seksual dalam Gereja Katolik pun di tutupi dan tidak terkuak oleh media. Namun, pada kenyataanya, tindakan kekerasan seksual yang telah tercatat, sudah terjadi sejak abad ke-11, yang ditulis oleh Peter Damian, dalam bukunya Liber Gomorrhianus (Kitab Gomora), yaitu buku mengenai berbagai keburukan para klerus, dan konsekuensinya yang memerlukan reformasi. Dalam bukunya, Peter Damian menuliskan mengenai pertentangannya dalam praktis homoseksualitas dalam Vatikan dan Gereja Katolik. Peter Damian merupakan seorang biarawan benediktin reformis Italia dan kardinal dalam lingkaran Paus Leo IX.

Pada tahun 1531, Martin Luther mengklaim bahwa Paus Leo X telah memveto tindakan yang dimaksudkan untuk membatasi para kardinal untuk memelihara anak laki-laki demi kesenangan mereka, dengan tuduhan bahwa veto tersebut dimotivasi oleh keinginan untuk menyembunyikan praktik sodomi yang meluas di kalangan paus dan kardinal di Roma. Hal ini terdokumentasi dalam pamflet yang diterbitkan oleh Martin Luther berjudul Warnunge D. Martini Luther/ An seine lieben Deudschen, yang diterbitkan di Wittenberg. Pada akhir abad ke-15, Katharina von Zimmern dan saudara perempuannya dipindahkan dari biara mereka untuk tinggal di rumah keluarga mereka untuk sementara waktu, sebagian karena gadis-gadis muda tersebut dianiaya oleh para Imam.

Pada tahun 1900-an, mulai terkuak oleh media adanya kasus-kasus kekerasan seksual di Gereja Katolik yang terjadi di Canada, Chile, Irlandia, Eropa, Australia, Amerika maupun Amerika Selatan. Banyak dari korban yang meminta keadilan tidak mendapatkan pemulihan dan keadilan sebagaimana semestinya. Banyak kasus-kasus ditutupi oleh gereja dan korban tidak mendapatkan keadilan.

Pada tahun 1995, Kardinal Austria Hans Hermann Groër mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Uskup Agung Wina atas tuduhan pelecehan seksual, meskipun ia tetap menjadi Kardinal. Di Irlandia, Komisi Penyelidikan Kekerasan terhadap Anak mengeluarkan laporan yang mencakup enam dekade (sejak tahun 1950-an). Laporan tersebut mencatat kekerasan seksual endemik di lembaga-lembaga Katolik untuk anak laki-laki, dengan mengatakan bahwa para pemimpin gereja menyadari adanya kekerasan dan bahwa inspektur pemerintah gagal untuk menghentikan pemukulan, pemerkosaan, dan penghinaan. Laporan tersebut mencatat sentralitas kemiskinan dan kerentanan sosial dalam kehidupan para korban kekerasan dan ketidakadilan sosial.

Pada perkembangannya, banyak protes terjadi terhadap Gereja Katolik. Sehingga pada tahun 2001-2010, Takhta Suci (Holy See), oleh yuridiksi Paus, dalam investigasi yang berlangsung mendapatkan bahwa diketahui ada 3000 imam yang terlibat dalam kasus kekerasan seksual, dimana banyak diantaranya terjadi dalam kisaran waktu 50 tahun.

Pada tahun 2002, dengan adanya investigasi yang dilakukan oleh The Boston Globe, perusahaan media surat kabar di Amerika, yang setelahnya menginsipirasi film Spotlight, pada akhirnya mengarahkan kepada peliputan media yang meluas di Amerika, yang juga menjadi domino effect kepada negara-negara lainnya seperti di Eropa, Chile, Australia, yang mencerminkan pola pelecehan jangka panjang yang telah terjadi di seluruh dunia serta pola hirarki Gereja yang secara teratur menutup-nutupi laporan pelecehan seksual.

Pada tahun 2001, Paus Yohanes Paulus II dalam permintaan maafnya kepada publik, menyatakan bahwa pelecehan seksual merupakan suatu kontradiksi terhadap ajaran dan kesaksian Yesus Kristus. Berlanjut pada tahun 2008, Paus Benedictus XVI yang juga meminta maaf atas kejahatan pelecehan yang dilakukan oleh klerus di Australia, beliau pun juga bertemu dengan para korban, dan berbicara tentang "rasa malunya" atas kejahatan pelecehan, menyerukan agar para pelaku diadili, dan mengecam penanganan yang buruk oleh otoritas gereja.

Paus Fransiskus mengakui pada tahun 2017 bahwa Vatikan memiliki 2.000 kasus pelecehan seksual yang belum terselesaikan. Pada tahun 2018, merujuk pada kasus pelecehan seksual yang terjadi di Chile, Paus Fransiskus melakukan  kesalahan fatal dimana ia menuduh korban membuat tuduhan palsu. Korban memutuskan tidak meneruskan tuntutannya karena proses yang terlalu panjang dan tidak mendapatkan support dan permintaan maaf dari Gereja. Namun setelah didapatkan bukti yang memadai, Paus Fransiskus meminta maaf atas kesalahan tragisnya, dan mengungkapkan rasa malu dan duka atas sejarah tragis tersebut.

Semenjak hal tersebut, Paus Fransiskus melakukan konferensi untuk membahas pencegahan pelecehan seksual oleh para klerus Gereja Katolik. Yang pada akhirnya mengarah pada keputusan Paus Fransiskus untuk melakukan perubahan besar pada cara Gereja Katolik Roma dalam menangani kasus-kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak, dengan menghapuskan aturan kerahasiaan kepausan yang sebelumnya mencakup kasus-kasus tersebut.

Di Indonesia pun, pada tahun 2022, terkuak media bahwa terjadi pelecehan seksual oleh Uskup Belo yang telah dilakukan dalam decade silam. Hal ini diutarakan oleh salah satu korban pelecehan yang berani mengungkapkan pengalaman kejahatan seksual yang dilakukan oleh Uskup Belo.

Pada bulan Juni 2021, tim pelapor khusus PBB untuk Kantor Komisaris Tinggi untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) mengkritik Vatikan, dengan menunjuk pada tuduhan yang terus-menerus bahwa Gereja Katolik telah menghalangi dan gagal bekerja sama dengan proses peradilan domestik untuk mencegah akuntabilitas bagi pelaku kekerasan dan kompensasi bagi korban.

 

Apa itu Protokol Perlindungan Anak dan Dewasa Rentan?

Mengarah pada Arah Dasar KAJ 2022-2026, Keuskupan Agung Jakarta sebagai Persekutuan dan Gerakan Umat Allah yang berlandaskan spiritualitas Ekaristis berjuang untuk semakin mengasihi, semakin peduli dan semakin bersaksi demi cinta pada Tanah Air dengan melaksanakan nilai-nilai Ajaran Sosial Gereja (ASG) dalam setiap sendi kehidupan. Pelaksanaan nilai-nilai ASG diwujudkan dalam 5 tema tahunan : penghormatan martabat manusia (2022), kesejahteraan bersama (2023), solidaritas-subsidiaritas (2024), kepedulian lebih pada yang lemah dan miskin (2025), dan keutuhan alam ciptaan (2026).

Sebagai bagian dari Gereja Universal, Keuskupan Agung Jakarta dalam hal ini berkomitmen untuk semakin menghargai martabat manusia dengan mencegah dan mengupayakan penanganan dan pemulihan korban kekerasan seksual khususnya anak dan dewasa rentan dengan  disusunnya dan diberlakukannya Protokol Gereja Ramah Anak dan Dewasa Rentan.

Dengan ini, Gereja menyatakan tidak adanya toleransi (zero tolerance) terhadap segala bentuk kekerasan seksual terhadap anak atau orang dewasa rentan, yang dilakukan baik oleh klerus, orang di lingkaran gereja, karyawan atau orang lain yang berafiliasi dengan pelayanan. Dalam hal ini, tindakan kan diambil untuk menangani setiap kasus kekerasan seksual yang dicurigai, diketahui, atau dilaporkan. Perlindungan anak dan dewasa rentan dalam gereja katolik di Indonesia mengacu pada Vademecum dan berbagai peraturan perundangan nasional.

Yang digolongkan sebagai anak adalah yang berusia dibawah 18 tahun atau masih dalam kandungan. Anak-anak dikategorikan sebagai kelompok rentan karena belum bisa mewakili dirinya secara hukum dan social. Sementara dewasa rentan menurut Vademecum adalah ‘setiap orang yang dalam keadaan lemah, kekurangan secara fisik atau mental, atau kehilangan kebebasan pribadinya, - walaupun hanya sesekali – yang berdampak membatasi kemampuannya untuk mengerti atau menginginkan, atau menolak tindak pelanggaran’.

Dalam protokol ini, subyek yang dilindungi diperluas, tidak hanya anak-anak dan dewasa rentan, namun juga orang dewasa dalam pengertian umum. Dalam hal ini, pengertian kerentanan diperluas.

Yang dimaksud dengan kekerasan seksual dalam protokol ini adalah setiap perbuatan yang merendahkan, dan/atau menyerang terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, dengan memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan, atau ketergantungan seseorang berdasarkan jenis kelamin, yang dapat disertai dengan status sosial lainnya, yang berakibat atau dapat mengakibatkan penderitaan atau kesengsaraan fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.

Tujuan utama dari protokol ini adalah untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual, dan, apabila kekerasan tersebut terjadi, memastikan Gereja hadir untuk memberikan perlindungan, pendampingan, dan pemulihan kepada korban. Penindakan hukum atas pelaku mengikuti hukum pidana Indonesia atau mekanisme tribunal Gereja tidak menjadi lingkup dari protokol ini.

 

PPADR Dalam Gereja St. Lukas

Dalam upaya membangun gereja ramah anak dan dewasa rentan di Gereja St Lukas, Sunter, Tim Satgas PPADR dibentuk yang beranggotakan para profesi tersumpah, yaitu dokter, perawat, psikolog, advokat, dan kaum awam. Tim Satgas PPADR pun sudah melalui tes seleksi dan interview untuk dapat bergabung dan mendedikasikan dirinya berkarya dan membantu umat basis di Gereja St Lukas. Penugasan Tim PPADR tidak hanya berupa pemulihan korban jika ada pelaporan, namun juga mengemban tugas untuk dapat memperluas kesadaran mengenai pentingnya safeguarding anak sebagai salah satu tindakan pencegahan, edukasi sosial. Serta bersinergi dengan Seksi Kerasulan Keluarga dan Seksi Keadilan dan Perdamaian dalam penanganan pelaporan jika pelaporan diluar ranah PPADR, dalam hal ini tindakan kekerasan antar kaum awam dalam keluarga dan lingkungan, jika terjadi ekploitasi, kekerasan, diskriminasi, bahkan yang terjadi secara digital.

Korban kekerasan seksual pun dapat menjadi korban kedua, ketika pelaporan terkuak, dan banyak penghakiman yang dilakukan oleh orang disekitar. Maka diperlukan kerahasiaan yang dijamin oleh Tim PPADR, Tim SKP dan SKK. Dan perlu adanya kesadaran sosial untuk dapat berempati dan memahami korban, dan dalam hal ini, Tim PPADR mengajak umat Paroki St Lukas untuk dapat membuka hati, pikiran, untuk pengembangan iman dan pemahaman empatikal, serta bersama-sama menjaga komunitas basis dan dalam misi bersama membangun Gereja Ramah di Gereja St Lukas, Sunter. Oleh sebab itu Tim PPADR berkomitmen untuk dapat memberikan edukasi kepada para orang tua muda, anak-anak, dan juga seluruh umat paroki St Lukas, mengenai perlindungan anak dan dewasa rentan demi tercapainya tujuan bersama dalam membangun gereja ramah anak.

Berikut merupakan QR Code dan link form untuk pelaporan tindak kekerasan dalam lingkup Gereja Santo Lukas yang dapat dilaporkan oleh umat, jika umat mengalami tindak kekerasan, atau menyaksikan tindak kekerasan. Pelaporan akan dijaga kerahasiannya oleh Tim Penerima Pelaporan, Tim PPADR. Setelah pelaporan masuk, Tim PPADR akan memberikan respon 1 x 24 jam. 

Link : https://forms.gle/H5vVtRfZYY28CGzu6

Referensi :

https://www.theguardian.com/world/2019/dec/17/pope-francis-ends-pontifical-secrecy-rule-child-sexual-abuse-catholic-church

https://www.abc.net.au/news/2008-07-19/pope-deeply-sorry-for-evil-of-child-abuse/444788

https://www.theguardian.com/world/2018/jan/19/pope-francis-victims-church-sexual-abuse-slander-chile

https://web.archive.org/web/20170516201947/http://www.sfgate.com/news/crime/article/Pope-acknowledges-2-000-case-backlog-in-sex-abuse-11144008.php

https://en.wikipedia.org/wiki/Catholic_Church_sexual_abuse_cases