HANYA DEBULAH AKU

Dipublikasikan tanggal 22 February 2023

HANYA DEBULAH AKU

Penerimaan Abu dalam Masa Pandemi


Hari ini kita telah memasuki masa Prapaskah dengan merayakan hari raya Rabu Abu yang ditandai dengan penerimaan abu sebagai tanda pertobatan. Abu merupakan simbol sesal dan tobat dalam Kitab Suci dan sudah merupakan praktik bangsa Yahudi berabad-abad sebelum kelahiran Yesus Kristus. Misalnya dalam kitab nabi Yunus dikisahkan bagaimana penduduk kota Niniwe bertobat dengan cara “duduk di atas abu” (Yun 3:7). 

Selama masa pandemi Covid-19 di mana pengetatan protokol kesehatan diharuskan di segala tempat umum, penerimaan abu pada hari raya Rabu Abu mengalami sedikit modifikasi. Biasanya, umat Katolik menerima abu yang dioleskan di dahi dalam rupa salib. Namun, untuk mencegah kontak fisik dalam rangka penerapan protokol kesehatan sejak tahun 2021 Vatikan sendiri telah mengumumkan aturan baru penerimaan abu, yakni imam menaburkan abu di atas kepala umat. Hal ini sebenarnya memiliki dasar alkitabiah yang kuat, di mana misalnya Ester berkabung dengan cara menaburi kepalanya dengan abu (TEst C:10).

Menurut catatan sejarah pada tahun 1091 Paus Urbanus II merekomendasikan praktik penerimaan abu baik untuk kaum tertahbis maupun untuk awam. Pada mulanya, upacara penerimaan abu terpisah dari perayaan misa dan baru dimasukkan ke dalam liturgi misa hari raya Rabu Abu pada abad ke-12. Sebagai praktik awal, para pria menerima abu yang ditaburkan di atas kepalanya, sedangkan kaum wanita menerima abu dengan membuat tanda salib dengan abu pada dahi mereka. Hal ini nampaknya berkaitan dengan kenyataan bahwa pada saat itu kaum wanita mengenakan kerudung untuk menutup kepala mereka ketika mereka beribadah di gereja. 

Di banyak negara, termasuk Indonesia, cara penerimaan abu yang umum adalah dengan menerimanya sebagai tanda salib pada dahi. Abu yang digunakan telah dicampur dengan sedikit air sehingga membentuk sejenis pasta dan dengan mudah dapat dioleskan pada dahi umat. Cara ini dianggap oleh banyak umat Katolik sebagai cara untuk menyatakan iman mereka karena tanda abu pada dahi bisa bertahan setidaknya selama hari raya Rabu Abu. 

Sebaliknya, di negara Italia dan negara-negara berbahasa rumpun Romawi, abu tidak dicampur dengan air, melainkan ditaburkan di atas kepala umat. Tanda abu pun tidak akan kelihatan karena tersamar oleh rambut (kecuali kepala botak atau beruban banyak) yang menandakan bahwa manusia berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu. 

Dengan demikian, kedua cara penerimaan abu yang dipraktikkan di gereja-gereja pada hari ini tentu saja sudah sesuai dengan aturan liturgi. Pada dasarnya, yang paling penting bukan cara menerima abunya, melainkan pernyataan tobat yang sejati. 


Selamat memasuki masa Prapaskah.