SANTO YUSUF, JAWARA KOMUNIKASI NONVERBAL

Dipublikasikan tanggal 16 May 2021

SANTO YUSUF JAWARA KOMUNIKASI NONVERBAL

Gereja Menyambut Hari Komunikasi Sedunia 2021

Bulan Mei adalah bulan yang dikenal sebagai bulan devosi kepada Bunda Maria. Umat Katolik merayakan bulan Mei dengan serangkaian kegiatan-kegiatan devosi misalnya doa rosario di lingkungan. Namun, mungkin hanya sedikit umat Katolik yang tahu bahwa pada tanggal 1 Mei, hari pertama di bulan devosi kepada Bunda Maria, Gereja memperingati Pesta Santo Yusuf Pekerja. 

Dalam keempat Injil Santo Yusuf tidak meninggalkan sepatah kata pun untuk kita. Yang kita kenal dari figur Santo Yusuf adalah mimpi-mimpinya. Namun, tidak ada yang meragukan kehebatan Santo Yusuf sebagai seorang yang tulus hati (Mat 1:19), seorang suami, seorang ayah dan seorang pendidik. Sayangnya, ketika dihadapkan dengan Yesus dan Bunda Maria, nampak bahwa Santo Yusuf memainkan peranan sekunder atau pelengkap. Tugasnya adalah memberikan keamanan kepada sang ibu dan merawat bayi Yesus. Kemunculannya yang terakhir dalam Kitab Suci terjadi pada peristiwa Yesus diketemukan di Bait Allah pada usia dua belas tahun (Luk 2:41-52). Ketika Yesus memulai karya-Nya pada usia tiga puluh tahun, tokoh Santo Yusuf hilang dari sorotan, meskipun Yesus disebut sebagai anak Yusuf (Luk 1:23). Dalam dunia teologi pun kita lebih mengenal tentang Kristologi dan Mariologi daripada Yosefologi. 

Santo Yusuf adalah orang desa yang sederhana, seorang tukang kayu yang tinggal di kota kecil Nazaret, yang tidak pernah sama sekali disinggung dalam Perjanjian Lama. Seorang tukang kayu biasanya memiliki bengkel di halaman rumahnya. Nampaknya di tempat inilah Yesus belajar ilmu pertukangan dari Santo Yusuf sehingga Dia dikenal sebagai “anak tukang kayu” (Mat 13:55) atau bahkan “tukang kayu” (Mrk 6:3). Dapat dibayangkan bahwa hari-hari Santo Yusuf diisi dengan kerja keras yang meletihkan dan keringat yang bercucuran, namun dalam keheningan. Dalam anjuran apostolik “Redemptoris Custos” (Pelindung Sang Penebus) Santo Yohanes Paulus II menulis, “Dalam perkembangan manusiawi Yesus dalam hikmat, usia dan karunia, keutamaan kerajinan memainkan peranan yang penting, sebab kerja adalah kebajikan manusia yang mengubah alam dan menjadikan manusia dalam arti tertentu, lebih manusiawi”. Santo Yusuf, pribadi yang tenang dan tidak banyak bicara itu, ternyata melahirkan profesional muda baru.

Santo Yusuf juga memainkan peranan yang luar biasa dalam kasus kehamilan Bunda Maria. Karena Bunda Maria mengandung bayi Yesus dari Roh Kudus ketika status Santo Yusuf dan Bunda Maria masih tunangan (dalam arti kata “belum serumah”), kita dapat membayangkan bagaimana mereka berdua membahas masalah ini, meskipun Kitab Suci tidak mencatatnya. Kita bisa membayangkan bagaimana Santo Yusuf dalam ketenangannya mencoba mencari jalan keluar yang terbaik. Dia tidak mau mencemarkan nama istrinya di muka umum, maka dia bermaksud untuk menceraikannya dengan diam-diam. Namun rencana itu digagalkan berkat pemberitahuan malaikat Tuhan kepadanya dalam mimpi. Santo Yusuf harus mengambil Bunda Maria sebagai istrinya dan menamakan bayi yang akan dilahirkannya dengan nama Yesus. Meskipun demikian, cerita tentu saja tidak berakhir di situ. Nazaret adalah kota kecil dengan sedikit penduduk. Banyak orang Nazaret tentu saja mencium berita tentang kandungan Bunda Maria yang terjadi sebelum Santo Yusuf dan Bunda Maria tinggal serumah. Mungkin kabar burung itu menjadi gossip di tengah-tengah penduduk kota Nazaret. Kecurigaan mereka masih tersisa ketika Yesus ditolak di Nazaret (Mrk 6:1-6a). Mereka bertanya-tanya, “Bukankah Ia ini tukang kayu, anak Maria, saudara Yakobus, Yoses, Yudas dan Simon …?” Mereka seolah-olah tidak meyakini siapa ayah Yesus yang sebenarnya dengan menyebut-Nya hanya sebagai “anak Maria”. Dalam percakapan dengan orang-orang Yahudi tentang keturunan Abraham, mereka dengan sengit menjawab, “…Kami tidak dilahirkan dari zinah. Bapa kami satu, yaitu Allah” (Yoh 6:41). Sekali lagi, Santo Yusuf dalam ketenangannya berhasil meredakan berita-berita gossip seputar kandungan istrinya, sehingga Bunda Maria terluput dari pengadilan dan hukuman menurut hukum Yahudi.

Kitab Suci juga mencatat Santo Yusuf sebagai orang yang tulus hati. Dalam terjemahan Lama dia disebut sebagai orang yang “taat beragama”. Dalam pemahaman Ibrani kata “tulus hati” menggabungkan dua kata “tzadik” dan “chasid”. Dapat digambarkan bahwa Santo Yusuf adalah pria yang taat kepada Allah, saleh dalam menjalankan ibadat, dan juga menjadi tokoh panutan di tengah masyarakat, terutama dalam hal menjadi teladan bagi generasi muda di zamannya. Maka, kehidupan keluarga kudus Nazaret ini menjadi sekolah bagi Yesus, di mana Dia belajar mengasihi Allah dan sesama tanpa syarat. 

Sebagai orang yang piawai dalam komunikasi nonverbal, Santo Yusuf juga tidak menerima komunikasi verbal langsung dari Allah. Dia menerima semuanya lewat mimpi. Lewat mimpi Santo Yusuf mengetahui bahwa dia harus menerima Bunda Maria sebagai istrinya, harus melarikan keluarganya ke Mesir untuk menghindari upaya pembunuhan terhadap anak-anak di Betlehem dan membawa kembali keluarganya ke Israel setelah Herodes mati.

Suatu hal yang paling menarik dari pribadi Santo Yusuf adalah keheningannya. Kitab Suci tidak mencatat sepatah katapun keluar dari mulutnya. Tentu hal ini bukanlah kebetulan belaka. Kembali Santo Yohanes Paulus II dalam permenungannya menulis, “ Aura keheningan yang sama yang melingkupi segala hal lainnya mengenai Yosef juga menyelubungi pekerjaannya sebagai seorang tukang kayu di rumah Nazaret. Namun demikian, keheningan itu adalah keheningan yang menyingkapkan dengan suatu cara yang istimewa gambaran batinnya. Injil berbicara semata-mata mengenai apa yang Yosef “lakukan.” Namun demikian, apa yang dibicarakan Injil membuat kita menemukan dalam “tindakan-tindakannya” - yang terselubung dalam keheningan - suatu aura kontemplasi yang mendalam. Yosef berhubungan setiap hari dengan misteri “yang telah berabad-abad tersembunyi,” dan yang “tinggal” di bawah atap rumahnya. (Redemptoris Custos #25).

Profil Santo Yusuf sungguh tepat untuk diangkat dalam rangka Hari Komunikasi Sedunia ke-55 yang jatuh pada tanggal 16 Mei 2021. Paus Fransiskus menawarkan tema, “Datanglah dan Lihatlah” sebagai metode komunikasi iman dalam kisah pemuridan di dalam injil Yohanes (Yoh 1:39, 47). Banyak orang mengira bahwa komunikasi hanyalah sederetan pesan-pesan verbal dalam bentuk kata-kata yang terjalin dalam kalimat-kalimat. Namun, ternyata komunikasi itu lebih daripada itu karena “kita perlu bergerak, pergi melihat sendiri, tinggal bersama orang-orang, mendengarkan kisah mereka …” Hal inilah yang dilakukan oleh Santo Yusuf. Tanpa banyak bicara dia pergi kepada Bunda Maria yang sedang mengandung bayi Yesus. Dia tinggal bersama-sama dengan mereka dalam kesederhanaan. Kita lebih daripada yakin bahwa Santo Yusuf meluangkan banyak waktu untuk mendengarkan kesaksian Bunda Maria tentang “perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Yang Mahakuasa kepadanya” (Luk 1:49). Dia juga mendengarkan cerita dari para gembala tentang apa yang dikatakan oleh malaikat kepada mereka tentang Yesus (Luk 1:17). Dia juga mendengarkan kesaksian Simeon ketika bayi Yesus dipersembahkan di Bait Allah (Luk 1:29-35). Dia, meskipun tidak memahami, mencoba mencerna makna perkataan Yesus ketika Dia pada umur dua belas tahun diketemukan di dalam Bait Allah (Luk 2:49). Lewat “datang dan tinggal” bersama Bunda Maria dan Yesus, Santo Yusuf akhirnya menemukan “realita yang mengejutkannya …” yaitu bahwa Sang Firman telah menjadi manusia”. Santo Yusuf adalah orang yang “turun ke jalan” dengan menjadi pekerja keras menopang kehidupan keluarga kudus, melindungi Bunda Maria istrinya, dan Yesus anaknya. Dia juga mengkomunikasikan iman kepada Yesus karena dia adalah orang yang tulus hatinya dan menyadari pentingnya pelajaran iman bagi anak-anak dan kaum muda. Di masa pandemi ini banyak realitas di dunia yang mendorong dunia komunikasi untuk semakin “datang dan melihat” seperti pengalaman hidup Santo Yusuf bersama Bunda Maria dan Yesus.