KITA DAPAT BERBUAT SESUATU UNTUK MEREKA

Dipublikasikan tanggal 10 March 2025

KITA DAPAT BERBUAT SESUATU UNTUK MEREKA

Tahun Kepedulian Lebih kepada Saudara yang Lemah dan Miskin

Memasuki Masa Prapaskah 2005 umat Gereja Keuskupan Agung Jakarta diimbau untuk mengikuti pendalaman iman Masa Prapaskah. Cukup menarik bahwa perikop tentang kisah Yesus membangkitkan anak muda di Nain (Luk 7:11-17) kembali menjadi bahan permenungan pada pertemuan Prapaskah minggu pertama, mengulang kembali bahan yang digunakan sebagai permenungan pada Masa Adven 2024. Mengapa teks ini sampai ditawarkan dua kali pada dua kesempatan pendalaman iman? Apa korelasinya dengan arah dasar pastoral tahun ini?


Teks ini mengisahkan tentang belas kasihan Yesus kepada seorang janda yang ditinggal mati oleh anak laki-laki tunggalnya. Dalam bahasa Ibrani kata janda adalah almanah (אלמנה) berasal dari akar kata alem (אלם) yang berarti “tidak bisa berkata-kata” atau “speechlessness”. Seorang wanita ketika dia belum menikah adalah tanggung jawab ayahnya. Setelah menikah dia menjadi tanggung jawab suaminya. Ketika suaminya meninggal, dia menjadi tanggung jawab anak laki-lakinya. Maka, kematian anak laki-laki Tunggal bukan saja menjadi pukulan dan penderitaan bagi janda di Nain, melainkan pula babak baru dari ketidakpastian ekonomi dan kadang pengucilan secara sosial. Tidak heran kalau Perjanjian Lama memasukkan para janda ini ke dalam kelompok marjinal dan tersisihkan bersama-sama dengan orang asing dan anak-anak yatim (Ul 24:17). Bahkan pakaian seorang janda tidak boleh digadaikan!


Sekarang kita dapat membayangkan bagaimana perasaan Yesus di kayu salib ketika dia melihat ibu-Nya. Sepeninggal-Nya, Bunda Maria menjadi janda tanpa anak dan otomatis masuk ke dalam kelompok marjinal dan tersisihkan. Untuk itulah Yesus menyerahkan Bunda Maria kepada murid yang dikasihi-Nya. Peran Bunda Maria dalam Gereja terutama pada hari Pentakosta menjadi bukti bahwa Salib Yesus adalah pembalikan  dari status janda yang lemah dan terisolasi menjadi kuat dan terinklusi. Dokumen Konsili Vatikan II Lumen Gentium tanpa ragu mengukuhkan gelar-gelar tradisional Maria sebagai Pembela, Pembantu, Penolong dan Perantara (Advocata, Auxiliatrix, Adjutrix dan Mediatrix). Dengan gelar-gelar ini, kita dapat menyaksikan pembelaan terhadap para janda, sang almanah atau “yang tidak bisa berkata-kata”. Di dalam Bunda Maria, sang almanah berbicara! Kini dan seterusnya dia adalah Sang Pembela yang tanpa lelah berbicara untuk seluruh umat manusia. 

Pada zaman Gereja Perdana para wanita mulai mengambil peran aktif dalam Gereja. Kita mengenal tokoh Febe (Rom 16:1-2) yang memberikan bantuan kepada banyak orang, termasuk Paulus. Atau Lidia (Kis 16:14 dst) penjual kain ungu yang memberikan tumpangan kepada rombongan Paulus. Di lain pihak, Gereja juga menganggap serius segala kewajiban mereka terhadap kelompok marjinal dan tersisihkan, termasuk para janda. Dalam Kis 6:1-7 dikisahkan bagaimana friksi pertama dalam Gereja Perdana disulut oleh kenyataan bahwa janda-janda Ibrani lebih diistimewakan dalam pelayanan daripada janda-janda Yunani. 

Perkembangkan lebih lanjut dapat dicermati pada surat pertama Paulus kepada Timotius. Selain mengatur syarat-syarat agar seorang umat dapat menjadi anggota pengawas jemaat atau diaken, 1Tim juga mengatur syarat-syarat agar seorang janda dapat didaftarkan sebagai anggota “ordo para janda”. Usia mereka tidak kurang dari enam puluh tahun dan istri dari satu suami (1Tim 5:9) dan terbukti telah melakukan pekerjaan yang baik. Tugas mereka adalah berdoa siang dan malam (1Tim 5:5) untuk jemaat. Sebagai kelompok yang tertindas, doa-doa mereka sangat kuasa kuasanya, karena Allah mendengarkan jeritan mereka yang tertindas. Meminjam istilah Ajaran Sosial Gereja Katolik, apa yang dipraktikkan oleh Gereja Perdana adalah sungguh-sungguh solidaritas. Solidaritas adalah antropologi tentang manusia sebagaimana diyakini kuat oleh Gereja.

Tidak boleh dilupakan bagaimana solidaritas dikaitkan dengan prinsip partisipasi. Solidaritas tidak berhenti pada sejumlah bantuan yang diberikan kepada kelompok marjinal dan tersisihkan. Solidaritas terlebih-lebih adalah panggilan untuk mengajak mereka masuk ke dalam sebuah relasi yang komunal. Semua ini hanya didasarkan pada keyakinan bahwa seluruh umat manusia tanpa terkecuali telah diciptakan seturut martabat yang luhur, seturut gambar dan rupa Allah.

Kisah tentang kiprah para janda dalam dinamika Gereja Perdana merupakan contoh yang terang-benderang tentang bagaimana Gereja seharusnya menyatakan solidaritas terhadap mereka yang kecil, miskin, termarjinalisasi dan tersisihkan. Gereja memperhatikan kebutuhan mereka dan sekaligus mengundang mereka untuk masuk dalam komunitas dan menghargai segala bentuk sumbangsih mereka demi perkembangan Gereja. Dengan demikian, kepedulian lebih terhadap mereka yang kecil, miskin, termarjinalisasi dan tersisihkan tidak hanya sebuah mimpi di tengah hari bolong, karena kita dapat berbuat sesuatu untuk mereka.